Monday, October 6, 2014

Hari Hijab Pertama Dunia

NEW YORK – Hari Jibab dunia dicetuskan Muslimah New York, Nazma Khan. Ia melihat jilbab bisa menjadi simbol toleransi dan kerukunan antarumat beragama.
Selain itu, peringatan ini diharapkan pula mendorong pemahaman yang lebih baik tentang Islam dan Muslim.
“Tumbuh di Bronx, aku mengalami diskriminasi karena jilbab. Waktu itu aku sering dianggap seperti batman atau ninja,” katanya seperti dikutip onislam.net, Jumat (1/2).
Dari masa lalunya itu, ia tergerak untuk membuat satu kegiatan yang mempromosikan jilbab. Beruntung, gagasannya disambut baik perempuan di seluruh dunia.
Nazma Khan Sosok dibalik Hari Hijab Sedunia
Seorang perempuan asal New York, Amerika Serikat, Nazma Khan, melakukan kampanye melawan stigma negatif hijab (jilbab). Ide Hari Hijab Sedunia pada 1 Februari pun menggema melalui situs jejaring sosial dan menjalar ke 50 negara di seluruh dunia.
Muslimah berjilbab masih dianggap aneh di negara-negara Barat. Dituding Osama bin Laden-lah, teroris-lah, kuno, simbol penindasan pria terhadap perempuan muslim, simbol diskriminasi, dan sejuta tuduhan negatif lain. Semua tuduhan itu membuat Nazma Khan prihatin.
Apalagi pengaruhnya secara psikologis sangat buruk terhadap umat Islam di dunia. Karena itu, dia pun merintis gerakan memakai hijab bagi semua perempuan di dunia, baik muslim maupun non-muslim. Bagi non-muslim, ide ini menarik sebab menjadi semacam petualangan dalam berbusana yang juga bernuansa spiritual. Juga sebagai seruan toleransi.
Maka, pada Hari Hijab Sedunia, mereka pun mengenakan jilbab secara massal di sejumlah kota sebagai bagian dari upaya memahami pilihan para muslimah. Dan Nazma Khan sendiri mengalami betapa pahit hidup di lingkungan yang tak ada toleransi.
“Tumbuh di Bronx, New York, saya mengalami diskriminasi yang besar karena hijab saya,” kata Khan di sela-sela aksinya memperinhati Hari Hijab Sedunia pertama, Jumat kemarin. Perempuan ini pindah ke New York dari Bangladesh pada usia 11 tahun. Dia merupakan satu satunya Hijabi (istilah untuk pemakai jilbab) di sekolahnya.
Di sejumlah negara dengan mayoritas muslim, kata dia, jilbab banyak dijual di pasaran. Tapi tidak di New York. Memakai jilbab diolok-olok sebagai ninja atau Batman. “Ya, di sekolah menengah saya, itu merupakan Batman atau ninja,” katanya.
Khan masuk kuliah tak lama setelah peristiwa 9/11. Setelah itu kebencian terhadap dirinya bertambah. Dan semua itu hanya karena dia berjilbab.
“Mereka memanggil saya Osama Bin Laden atau teroris. Itu sangat mengerikan. Saya berpikir satu-satunya cara untuk mengakhiri diskriminasi ini adalah jika kita meminta rekan kita untuk merasakan sendiri pengalaman berhijab,” katanya.
Dia pun menyerukan, bahwa dirinya seorang muslimah. Bukan Batman atau ninja. Apalagi teroris. “Ayo mencoba merasakan berjilbab,” katanya.
Dan Khan tidak menyangka bila akhirnya aksi itu mendapat dukungan dari berbagai negara. Dia pun kebanjiran telepon dari berbagai belahan dunia. Dia dihubungi oleh puluhan orang dari berbagai negeri termasuk Inggris, Australia, India, Pakistan, Prancis, dan Jerman. “Informasi mengenai kelompok ini telah diterjemahkan ke dalam 22 bahasa,” katanya.
Sempat Takut
Esther Dale (28), yang tinggal di negara bagian California, AS, misalnya. Dia merupakan perempuan non-muslim yang mencoba menggunakan jilbab pada Jumat kemarin. Ibu tiga anak ini diberitahu oleh seorang temannya yang merupakan seorang hijabi. Dan rasanya, dia nyaman berjilbab.
Sebagai penganut Mormon, Dale paham pentingnya keyakinan dalam kehidupan sehari-hari. Dia juga merasakan tuduhan yang didapat hanya karena pakaian yang dikenakan. Dia mengetahui stigma terhadap penutup kepala dan berharap pula dalam kesempatan ini dapat digunakan untuk menghapusnya.
“Saya mengetahui mengenai kesantunan dalam perilaku, tidak hanya pakaian, dan ini hanya merupakan asumsi yang salah bahwa perempuan menggunakannya jika mereka dipaksa – terutama di AS. Ini merupakan kesempatan yang baik untuk mendidik orang bahwa Anda tidak dapat memberikan tuduhan yang akurat mengenai seseorang berdasarkan apa yang mereka kenakan,” kata Dale.
Esther Dale mengungkap masih ada yang disalahpahami dari jilbab. Padahal, jilbab itu mencerminkan kesopanan. Artinya, salah bila perempuan memakainya karena terpaksa. “Itu sama sekali tidak benar,” kata dia seperti dikutip onislam.net, Jumat (1/2).
Lain Dale, lain pula Jess Rhodes. Wanita asal Inggris ini juga ambil bagian dalam acara tersebut. Ia memutuskan ikut setelah mengetahui acara itu melalui internet. Bahkan dia sudah berjilbab selama 8 hari dan akan terus mengenakan hijab selama satu bulan.
“Jujur, aku tidak begitu tahu bagaimana mengenakannya, tapi ini merupakan hal menarik, karena terkait pilihan hidup seorang muslimah,” kata Jess yang saat ini tercatat sebagai seorang mahasiswi.
Jess mengatakan orang tuanya sempat terkejut dengan apa yang dilakukannya. Namun, dia coba jelaskan apa tujuannya. “Reaksi orang tua, ehm, sedikit terkejut. Wajar memang, tapi setelah dijelaskan mereka akhirnya mengerti,” katanya.
Menurut Jess, reaksi orang tuanya mencerminkan kondisi nyata dari pandangan masyarakat Inggris terhadap jilbab. Karena itulah dia semakin termotivasi untuk ambil bagian dalam Hari Hijab Sedunia. “Mereka khawatir saya akan diserang di jalanan karena adanya kesenjangan toleransi,” katanya.
Dia juga sempat khawatir dengan reaksi ini, tetapi setelah delapan hari menggunakan jilbab dia terkejut dengan situasi positif yang dialaminya. “Saya tidak dapat menjelaskan tetapi orang-orang sangat membantu, terutama di toko-toko,” kata dia.
Widyan Al Ubudy, wanita asal Australia, merupakan pihak yang menginformasikan acara tersebut kepada Jess. Baginya, sangat penting bagi perempuan non-muslim ambil bagian dalam acara ini. Sebab, melalui mereka, kesalahpahaman dapat diluruskan. “Saya tidak terlatih menggunakan apa yang Anda sebut sebagai jilbab. Anda tinggal memasukkannya ke kepala Anda. Tetapi saya menemukan bahwa jangkauannya sangat luas, ” kata mahasiswi dari Norwich Inggris ini. (bbc/wis/rol)

0 comments: